tokoh wiji thukul serta puisinya


Pernah saya mendapat cerita dari seorang kawan, pada akhir tahun 80-an atau awal 90-an, ketika berlangsung pertemuan para sastrawan di Taman Ismail Marzuki, bersama Halim Hade, Wiji Thukul membacakan dan membagi-bagikan puisinya dalam bentuk stensilan di luar pertemuan. Ini salah satu bentuk perlawanan menggedor kemapanan.
Semangat perlawanan, inilah yang kemudian menonjol dan melekat bersama dirinya. Menggunakan media teater, ia melakukan pendidikan kritis bagi kaum buruh di Solo. Ia hadir dan turut serta bersama kaum buruh melakukan aksi-aksi menuntut perubahan. Pada aksi buruh di bulan Mei 1995 ia mengalami kekerasan dari aparat keamanan yang membuat matanya hampir buta.
Berjuang memang tidak bisa sendiri. Wiji Thukul bersama beberapa kawannya (seniman, aktivis mahasiswa, dan aktivis pro-dem lainnya) kemudian membentuk dan mengembangkan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER). Ia juga bergabung dengan Persatuan Rakyat Demokratik (yang kemudian menjadi Partai), dan pada Kongres Pertamanya di tahun 1994 ia terpilih sebagai Ketua Divisi Budaya.
Gerakan bersama menentang rejim Soeharto, menemukan salurannya ketika terjadi konflik internal di Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1996. Pro Soeryadi yang didukung oleh  pemerintah, militer dan para pengusaha membuat kongres tandingan untuk menjegal Megawati yang naik sebagai Ketua PDI. Massa pendukung Megawati Protes dan membuat aksi-aksi di Kantor PDI. Aksi ini didukung oleh tokoh-tokoh oposisi.  Pada tanggal 27 Juli 1996, aksi ini diserbu oleh preman yang didukung aparat, yang menimbulkan reaksi sehingga terjadi kerusuhan. PRD dituduh oleh pemerintah sebagai dalang kerusuhan yang berlanjut pada perburuan dan penangkapan terhadap tokoh-tokoh PRD.
Pada periode itu pula, Wiji Thukul sebagai salah seorang yang diburu oleh aparat keamanan menghilangkan diri. Semula ia masih membangun kontak dengan keluarga dan kawan-kawannya. Terakhir kali ia masih membuat kontak pada tahun 1998. Selanjutnya, hilang tak berbekas. Pada periode 1996-1998, berbagai kasus penculikan terhadap para aktivis berlangsung. Salah satu pelaku penculikan yang kemudian terungkap adalah Tim Mawar dari Kopassus yang dipimpin Oleh Prabowo Subianto.
Pada tahun 2000, hilangnya Thukul dilaporkan oleh keluarganya dan sejak tahun itu pula Wiji Thukul resmi dinyatakan sebagai salah satu orang yang mengisi daftar orang hilang.
Kegiatannya dalam kesenian membuahkan hasil dengan pemberian penghargaan terhadapnya. Pada tahun 1991 ia memperoleh penghargaan Wetheim Encourage Award yang pertama bersama penyair WS Rendra.
Kegiatan-kegiatannya dalam penulisan dan dibarengi dengan aksi-aksi nyata yang gigih memperjuangkan kepentingan rakyat yang terpinggirkan mendapatkan apresiasi dengan pemberian penghargaan ”Yap Thiam Hien Award” pada tahun 2002. Dewan Juri, yang terdiri dari Prof Dr Soetandyo Wignjosoebroto, Prof Dr Azyumardi Azra, Dr Harkristuti Harkrisnowo, HS Dillon, dan Asmara Nababan menjelaskan alasan mendasar sehingga mereka memilihnya, yaitu, karena ia seorang reminder dan representasi orang yang tidak mengerti HAM secara teoretis, tetapi aktif dalam memperjuangkannya.
Sebagai reminder, Wiji mengingatkan masih banyak orang yang hilang karena alasan-alasan politik. Pengingatan yang dilakukannya memang suatu hal yang pahit, tetapi harus perlu disampaikan, khususnya ketika pemerintah sudah tidak berdaya lagi untuk melindungi rakyatnya.
Sebagai orang yang aktif memperjuangkan HAM, ia pantas diberi penghargaan karena tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi tentang HAM, berani memperjuangkannya tanpa pamrih. Dalam perjuangannya, Wiji juga dikenal sebagai orang yang tidak memunyai suatu lembaga khusus untuk memperjuangkan HAM, tapi ia berjuang sendiri.
Sedangkan menurut Todung Mulya Lubis dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia, yang juga menjadi salah satu pendiri Yap Thiam Hien Award, Wiji terpilih karena melalui puisi-puisinya mengajak kaumnya-masyarakat yang termarjinalisasi di Solo-untuk bangun memperjuangkan hak mereka yang asasi, hak yang mereka miliki karena mereka manusia. Puisinya ditulis dengan bahasa yang sederhana, oleh karena itu mudah dipahami oleh orang kebanyakan. Puisinya bening, karena itu dengan mudah kita menangkap nilai yang ingin dikomunikasikannya, yakni nilai-nilai kemanusiaan.
Puisi-puisi Wiji Thukul yang semula terhimpun dalam lima kumpulan buku puisi, kini telah disatukan ke dalam buku: Aku Ingin Jadi Peluru. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit TERA, Magelang. Buku ini berisi 136 puisi yang dibagi atas lima buku atau lima kumpulan puisi. Buku 1: Lingkungan Kita Si Mulut Besar berisi 46 puisi.. Buku 2: Ketika Rakyat Pergi berisi 17 puisi. Buku 3: Darman dan Lain-lain berisi 16 puisi. Buku 4: Puisi Pelo berisi 29 puisi. Dan Buku 5: Baju Loak Sobek Pundaknya berisi 28 puisi. Dalam catatan penerbit, Buku 5 merupakan kumpulan sajak-sajak yang ditulis Wiji Thukul ketika ia berada di masa pelarian.
Sekarang di manakah Wiji Thukul? Sungguh, kami semua menanti kepastiannya.

PERINGATAN
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
(Wiji Thukul, 1986)
SAJAK SUARA
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diamaku
siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
BUNGA DAN TEMBOK
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!
NYANYIAN AKAR RUMPUT
jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang
kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!
Share on Google Plus

About PMII Komisariat STAINU Malang

Website official Pengurus Komisariat Pergerkan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat KH.Muhammad Said STAINU Malang
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar